Senin, 30 September 2013

Bagaimana Membuat Film Dokumenter

07.23 0 Comments
Bagaimana Membuat Film Dokumenter

oleh Jennifer Steinberg


Sebagai kurator sebuah festival film dokumenter, saya sering ditanya tentang bagaimana seharusnya seseorang membuat atau memproduksi film dokumenter. Sekarang ini, dengan peralatan yang murah, setiap orang dapat membuat film. Bisa saja benar demikian, namun, seberapa baik hasilnya? Adakah yang bersedia membayar untuk menontonnya?

Berikut adalah beberapa langkah penting yang sangat mendasar dalam membuat film dokumenter:

1) Pastikan bahwa kita mempunyai ide yang orisinil. Telusuri daftar-daftar film di festival internasional (khususnya Hot Docs, Silver Docs, Full Frame dan festival film dokumenter lainnya), Internet Movie Database, Indiewire dan wadah film-film lainnya, untuk memastikan bahwa belum ada film dengan topik yang sama pernah dibuat. Hampir semua film yang dibuat oleh para pemula dapat menarik perhatian para distributor film dari keikutsertaanya dalam festival film. Programer festival biasanya hanya mempunyai sedikit tempat untuk film dokumenter. Pastikan bahwa film kita berbeda dari yang lain. Film-film tentang 9/11, Iraq, dan AIDS adalah film-film yang sudah sangat umum.

2) Baca. Jika belum pernah sama sekali membuat film maka kita harus banyak belajar. Jangan membuat kesalahan-kesalahan yang tidak penting dan akhirnya membuang-buang uang. Luangkan waktu untuk membaca atau mencari cara untuk mendapatkan masukan dari para profesional.

3) Tonton. Carilah tempat-tempat di mana kita bisa menyewa atau menonton film-film dokumenter. Jika menggunakan TV kabel, beberapa saluran (channel) juga dapat menjadi sumber yang baik. Diskusikan film dokumenter favorit bersama teman yang juga menyukai film. Catat hasil diskusi yang penting.

4) Riset. Kita harus tahu bagaimana caranya membuat si subyek benar-benar 'hidup' dalam film. Pikirkan itu pada saat membuat treatment? hingga ke tampilannya. Pastikan kita sudah mendapatkan kesediaan dari para nara sumber juga izin lokasi di mana kita akan merekam gambar.

5) Jika hal-hal yang dibutuhkan sudah terkumpul, mulailah menulis treatment. Ikuti format yang sudah ditetapkan dalam menulis treatment?. Cari buku panduan jika membutuhkan bantuan. Ingatlah bahwa karya kita bermula dari treatment.

6) Hitung dan kumpulkan anggaran. Perkirakan berapa wawancara yang akan dilakukan dalam pembuatan film ini, berapa hari yang diperlukan, berapa tim yang akan ikut dalam produksi ini (penata suara, penata kamera, sutradara, editor), perlu tidaknya menyewa alat. Belakangan ini, kebanyakan film dokumenter berformat DVD or DigiBeta. Jangan lupa, izin atau biaya hak cipta dari musik yang akan kita pakai dapat menambah biaya yang cukup lumayan.

7) Tambahkan 30% di rencana anggaran kita, sebagai anggaran tidak terduga.

8) Cari investor atau pen-donor. Para pemula biasanya mengajak teman atau keluarganya untuk ambil bagian dalam filmnya. Kita bisa mengajukan proposal ke bermacam-macam yayasan yang memberikan bantuan dana bagi pembuatan film dokumenter. Pada umumnya kita harus menunggu 3-6 bulan dari awal pengajuan proposal untuk mendapatkan jawabannya. Jangan memaksakan diri meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk membuat film.

9) Atau kita bisa juga mempresentasikan treatment kita ke stasiun-stasiun TV yang mempunyai program dokumenter.

10) Produksi film.

11) Putar film kita di kalangan yang mengapresiasi film dokumenter atau kelompok-kelompok yang merupakan target penonton film kita. Evaluasi film kita melalui angket yang disebarkan saat itu, yaitu meminta penonton untuk menuliskan pendapat mereka tentang film kita. Apakah mereka mengerti, bagaimana suasananya dan pertanyan-pertanyaan lain yang kita anggap penting.

12) Tilik kembali evaluasi-evaluasi yang kita dapatkan dan kemudian pikirkan kembali apakah ada yang perlu diubah atau ditambahkan.

13) Ajukan film kita ke festival-festival film yang ada. Bisa dimulai dari festival-festival lokal (daerah) dan nasional.


(Diambil dari: www.helium.com/items/329147-how-to-produce-a-documentary-film)





Rambut Sehat untuk Hijabers

06.44 0 Comments
Rambut adalah mahkota setiap cewek, begitu juga buat kamu yang mengenakan hijab. Makanya tetap harus dirawat, supaya terbebas dari masalah rambut rontok, lepek dan berketombe. Ikuti beberapa tip berikut ini, yuk!

Gunakan Shampo dan Kondisioner yang BenarCuci rambutmu 3 kali dalam seminggu untuk menjaganya agar tetap lembap. Saat keramas pastikan kamu menggunakan shampo dan kondisioner yang sesuai dengan jenis rambutmu. Salah menggunakan shampo dan kondisioner bisa membuat rambut menjadi rusak dan nggak sehat.

Keringkan Rambut Secara AlamiHindari mengeringkan rambut dengan hairdryer. Karena, penggunaan hairdryer yang terlalu sering dapat menyebabkan rambut menjadi kering dan rusak.

Pilih Bentuk Sisir yang TepatPilih sisir berbentuk bulat dan bergigi jarang, lalu sisir rambutmu dari pangkal hingga ujung rambut. Pastikan rambutmu tetap rapi dan tidak kusut saat akan memakai hijab.  

Creambath dan Masker RambutWalaupun kamu mengenakan hijab, nggak ada salahnya melakukan creambath atau spa rambut di salon. Lakukan seminggu sekali agar rambutmu tetap sehat dan berkilau. Atau kamu pun bisa melakukan perawatan masker rambut sendiri di rumah dengan menggunakan bahan alami, seperti buah-buahan.

Hindari juga!
  • Mengikat rambut terlalu kencang saat sedang mengenakan hijab. Karena rambutmu akan menjadi rusak, mudah patah dan kulit kepala menjadi sakit.
  • Memakai hijab dalam keadaan rambut setengah kering, karena dapat membuat rambutmu semakin lepek dan berketombe

5 Faktor Penyebab Jerawat

06.41 0 Comments
Munculnya jerawat di wajah, bisa bikin kita nggak pede. Kabar buruknya, munculnya jerawat nggak pandang bulu. Kabar baiknya, dengan mengetahui lima fakta berikut ini, kamu bisa lebih mudah mengatasi jerawat.
Faktor KeturunanYup, it’s in the blood. Coba lihat mama atau papa, apakah di antara mereka ada yang wajahnya berjerawat? Jika iya, maka kemungkinan munculnya jerawat di wajahmu cukup besar.

Faktor Jenis KulitBanyak yang percaya bahwa jerawat hanya datang pada kita yang memiliki jenis kulit berminyak. Padahal, pada kulit wajah orang yang memiliki jenis kulit kering pun bisa muncul jerawat, lho.

Faktor SkincareBukan rahasia lagi kalau ketidakcocokan kulit kita pada skincare tertentu bisa menimbulkan jerawat. Kadang kulit kita memang butuh waktu buat beradaptasi dengan kosmetik lewat perubahan kondisi kulit. Salah satu reaksi beradaptasinya adalah timbul jerawat. Tapi kalau munculnya jerawat sudah lewat dari satu bulan, sebaiknya hentikan pemakaian skincare.

Faktor KebersihanPerhatikan kebersihan spons bedak, kuas makeup, handuk, atau apapun yang bersentuhan langsung dengan kulit wajah kita. Karena bakteri dalam benda-benda tersebut bisa mengakibatkan munculnya jerawat pada kulit. Biasakan untuk membersihkan atau menggantinya seminggu atau dua minggu sekali.

Faktor KebiasaanHabis kehujanan, naik motor atau beraktivitas outdoor? Sebaiknya segera cuci wajahmu dengan sabun muka. Atau gunakan susu pembersih agar lebih dalam membersihkan kotoran di pori-pori, supaya kulit bisa bernafas kembali setelah beberapa waktu tertutup kotoran

Awas Rambut Rontok!

05.17 0 Comments
Rambut rontok merupakan salah satu masalah rambut yang paling umum. Hal ini terjadi karena kurangnya nutrisi dan vitamin pada akar rambut, sehingga rapuh dan rambut mudah rontok.

Sebenarnya kerontokan rambut itu menjadi sebuah tanda terjadinya pergantian rambut baru. Pada beberapa orang yang mengalami kerontokan, rambut akan mudah tumbuh kembali dalam kurun waktu seminggu atau beberapa bulan. Tapi, kita harus waspada saat rambut yang rontok lebih dari 100 helai setiap hari.

Untuk mencegah dan mengatasi rambut rontok, kita lihat dulu yuk apa penyebabnya!

1.    Rambut rontok dapat disebabkan oleh jarang melakukan keramas. Ketika jarang keramas, rambut akan terlihat lembap akibat paparan sinar matahari dan keringat. Keringat yang diserap oleh folikel rambut akan terlihat “lepek” atau basah, menimbulkan bau dan rontok.
2.    Terlalu sering menggunakan pengering, pelurus dan pengeriting rambut, serta penggunaan bahan kimia, seperti cat rambut.
3.    Rambut rontok juga dapat disebabkan oleh seringnya mengikat rambut terlalu kuat dan dalam waktu lama.
4.    Stres berat, sehingga urat-urat syaraf di sekitar kepala memaksa akar rambut menjadi lemah dan akhirnya rambut menjadi rontok.

Salah satu cara mengatasinya dengan membuat masker buah yang bisa kamu buat sendiri di rumah. Caranya, haluskan ½ buah pisang, ½ buah alpukat, sedikit potongan buah semangka, kemudian tambahkan 1 sdm yogurt murni tanpa rasa. Oleskan campuran bahan ke seluruh bagian rambut dan diamkan sampai 10 menit. Bilas rambut dengan bersih menggunakan shampo.

Alpukat dan yogurt berguna sebagai pelembap dan pelembut rambut yang alami, sedangkan semangka dan pisang untuk membuat tampilan rambut semakin berkilau. Selain itu, buah-buahan tersebut juga dapat menambah ketebalan rambut dan melindunginya dari bahaya kerusakan, karena mangandung asam sitrat dan antioksidan yang sangat baik untuk rambut

Obessive Corbuzier's Diet

03.04 0 Comments
Mentalis Deddy Corbuzier memang terlihat langsing beberapa tahun belakangan. Ternyata ayah satu anak ini punye resep jitu yang dinamai OCD atau Obessive Corbuzier's Diet, yang katanya merupakan metode kuno dari Tiongkok dan sering digunakan oleh para Shaolin Monk. Untuk menjalani diet ala Deddy Corbuzier ini, terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan, yaitu

1. Tidak boleh sarapan
Ketika penelitian lain menyebutkan bahwa tidak sarapan memicu peningkatan berat badan, diet ala Deddy justru mengklaim hal sebaliknya. Menurut Deddy, tidak sarapan justru jauh lebih baik dibanding tidak makan malam. Jadi, ketika menjalani diet OCD, pelaku dilarang keras untuk sarapan.

2. Berpuasa
Deddy memberikan waktu puasa selama 16 jam, 18 jam, 20 jam, hingga 24 jam (pelaku dilarang makan makanan yang berkalori, sementara minum air putih saja tetap dibolehkan). Artinya, pelaku diet boleh makan delapan jam, enam jam, empat jam, atau sekali saja dalam sehari (waktu ini kemudian disebut dengan jendela makan oleh Deddy).

Begini Deddy Corbuzier menjalaninya:

1. Minggu pertama saya coba enam jam waktu makan dan sisanya berpuasa.
2. Minggu kedua saya sudah masuk ke empat jam waktu makan dan sisanya berpuasa.
3. Minggu ketiga saya memasukkan pola puasa 24 jam seminggu sekali, dengan pola jendela makan empat jam.
4. Minggu keempat hingga kini saya menggunakan pola puasa 24 jam sebanyak dua kali seminggu dengan pola jendela makan enam jam / empat jam dalam sehari.

"Ingat bahwa hal ini sangatlah fleksibel," kata pembawa acara Hitam Putih ini. "Dalam waktu 45 hari sampai dua bulan saya menjalankan ini, tubuh saya merasakan perbedaan yang sangat luar biasa." Dalam sebuah situs bernama www.readyforfit.com, tersedia pula e-book yang berisi penjelasan mengenai OCD ini.

Jumat, 27 September 2013

Membuka Rahasia

07.13 0 Comments
Wawancara dengan pembuat film dokumenter, Sarah Wolozin
oleh Boxerpk
Saat saya bertemu Sarah Wolozin untuk wawancara minggu kemarin, ia memberikan masukan bagaimana saya seharusnya mengarahkan kamera. "Arahkan ke kiri sedikit dan duduk di kursi itu,” begitu instruksinya. Walaupun Wolozin sekarang bekerja sebagai Administrator Akademik untuk Divisi Studi Banding Media di MIT, ia mengaku masih sulit untuk melupakan pengalamannya selama 10 tahun ketika membuat film dokumenter. Sebagai seorang anak, dia tahu betul bahwa orang-orang yang mempunyai kesempatan menceritakan kisah hidupnya adalah orang-orang yang mempunyai posisi dan kekuatan, berbeda dengan orang-orang biasa yang cerita-ceritanya hanya akan terkubur.  Kesadaran inilah awal ketertarikannya pada media cetak dan kemudian membawanya ke Italia dimana Wolozin membuat film dokumenter untuk pertama kalinya dan kemudian jatuh cinta pada film dokumenter.  Wolozin akhirnya kembali ke Boston tempat tinggalnya, dan bekerja di perusahaan dokumenter, Blackside. Bersama Blackside, ia mengerjakan banyak film dokumenter, salah satunya: “I’ll Make Me a World: A Century of African-American Arts”.  Selama beberapa tahun, Wolozin terus memproduksi film dokumenter untuk PBS, History Channel, dan Learning Channel.

Walaupun saya sudah pernah berdiskusi dengannya tentang karir profesionalnya dan bahkan mengikuti lokakaryanya (MIT) tentang pembuatan film dokumenter, saya belum pernah berkesempatan untuk mengetahui lebih dalam apa yang dipikirkannya saat proses pembuatan film. Ia memberikan materi-materi pengajaran yang praktis di dalam kelas, yang membuat saya tertarik untuk mengetahui prinsip kerjanya. Saya ingin mendalaminya melalui wawancara khusus.

Satu hal yang sangat menarik perhatian adalah keseganannya untuk mengungkapkan dengan jelas metode atau teori dalam pembuatan film dokumenter. Berikut kutipannya:
“Yang saya pikirkan ketika Anda berkata membuat film dokumenter adalah… bahwa itu adalah sebuah bidang yang besar yang meliputi berbagai macam gaya, pendekatan, filosofi dan teori.. dan tipe-tipe orang serta metode. Benang merahnya adalah, itu benar-benar terjadi, bukan sesuatu yang fiksi dan kemudian Anda merekamnya”

Walaupun ada begitu banyak pendekatan dalam membuat film dokumenter, Wolozin menyatakan bahwa kebanyakan para pembuat film termotivasi oleh keinginan untuk menceritakan sebuah kisah. Ketika film fiksi memulai prosesnya dengan sebuah cerita di kepala, film dokumenter justru lebih sering berangkat dari sebuah ide atau konsep. Beberapa dokumenter bertumpu pada penceritaan kembali sebuah fakta sebagaimana adanya (seperti salah satu karya Wolozin, History Channel), biasanya, filmmaker membentuk atau menggunakan bahasa naratif di karya mereka. Wolozin menyatakan kita harus “mencari-cari drama” ketika merangkai film dokumenter, dan prosesnya kerap kali melibatkan negosiasi yang terus menerus antara berbagi ilmu, ide dan bercerita kisah yang menarik hati.

Negosiasi dan keseimbangan menjadi tema yang selalu ada dalam setiap wawancara. Sebagai seorang pembuat film dokumenter untuk televisi, Wolozin beberapa kali mengerjakan sesuatu yang diminta yang bertentangan dengan hatinya. Biasanya Wolozin mendiskusikan dengan yang mempekerjakannya ketika dia sudah terlalu jauh ditekan melawan instingnya. Wolozin mengatakan: “Beberapa cerita dapat dibanggakan dan beberapa harus kita relakan untuk tidak dipakai… Kita selalu menghitung keterbatasan dana dan kemampuan yang kita punya, tapi bagi saya, yang paling penting adalah kita berusaha untuk menyeimbangkan itu, kita berusaha membuat proyek yang sesuai dengan nilai-nilai dan membiarkan kita merasa bahwa kita telah memberikan masukan kreatif dan membuat sesuatu yang berharga. Jika kita merasa itu tidak berharga, maka itu sangat tidak memuaskan.”
Sesuatu yang baru saya perhatikan ketika mengikuti lokakarya tentang pembuatan film dokumenter bersama Wolozin beberapa minggu yang lalu adalah bahwa keseimbangan adalah kunci dari teknik pembuatan film dokumenter. Saat Wolozin mengemukakan bagaimana caranya membuat rencana shooting yang mendetail dan membuat proses yang terorganisir, dia juga menyatakan bahwa, sering kali dalam membuat film kita melibatkan intuisi tentang “apa yang terasa benar”. Dia bercerita bahwa sejak masa kanak-kanak, kebanyakan pembuat film sudah mempunyai intuisi dan indra yang baik untuk membedakan sesuatu yang terlihat bagus dan yang menarik perhatian mereka, melalui kacamatanya sendiri melihat media seperti film dan televisi. Karena “televisi adalah sebuah media yang emosional” (sebuah pernyataan untuk Rick Burns, seorang pembuat film dokumenter), insting sangat berperan besar dalam membuat isi dari program, khususnya dalam membuat cerita yang mengasyikan. Ini tidak untuk menyatakan bahwa Wolozin menjauhi pendidikan/pelatihan profesional (sesungguhnya, dia menganjurkan untuk bersekolah di sekolah film, karena itu akan memberikan kebebasan dalam keterbatasan profesi dan membiarkan kita bereksperimen), tapi dia malah mengatakan: “Ada banyak cara untuk belajar, dan saya tidak berpikir bahwa cara yang dipakai si ini lebih baik dari cara yang dipakai oleh yang lain, saya hanya berpikir untuk menjalani cara yang ampuh untuk saya, yang menghasilkan paling baik untuk saya.”

Insting, yang sebelumnya disebut oleh Wolozin sebagai “kunci dalam membuat film dokumenter”, adalah juga sebuah elemen yang penting dalam melaksanakan wawancara.  Motivasi para pembuat film dokumenter kebanyakan adalah untuk menceritakan kisah, yang harus disampaikan melalui karakter-karakter di film dan wawancara-wawancara dengan mereka. Wolozin mengatakan bahwa dokumenter lebih sering “merupakan sebuah keseimbangan antara wawasan dan karisma dari karakter-karakternya”. Insting harus diperhatikan pada beberapa tahap dalam proses wawancara. Pertama, pembuat film harus bertumpu pada instingnya untuk memilih orang-orang yang akan diwawancara. Ini sangat pernting di dunia dokumenter karena Wolozin pernah menyatakan: “Masalahnya adalah kita tidak tahu bagaimana narasumber-narasumber kita akan berlaku dan kita tidak bisa mengontrolnya, karena mereka bukan aktor. Jadi, dari awal kita harus memilih mereka dengan tepat agar terhindar dari kegagalan, karena pada akhirnya, ini semua tentang para karakter dalam film.”

Tentu saja ini hanya awalnya, insting juga harus menggiring pembuat film dalam melaksanakan wawancaranya. Wolozin kemudian membicarakan beberapa cara untuk menjadi seorang pewawancara yang baik (yang juga menjadikan seorang pembuat film dokumenter yang baik): “Setiap orang mempunyai akses untuk tahu prinsip menjadi karakter yang baik, yaitu sebuah pengertian yang dalam atau kemampuan yang membuat orang mengerti hingga ke akar-akarnya, sementara yang lain tidak.” Beberapa pembuat film dokumenter suka menjaga jarak dengan para narasumber yang diwawancara, tapi tidak dengan Wolozin, dia lebih suka para pewawancara melakukan pendekatan yang lebih halus. Dia menekankan karakter yang bisa dikatakan sebagai karakter yang “tidak mengancam” adalah mereka yang mendengarkan dengan seksama dan mencari-cari tahu bagaimana membangun ikatan dengan subyek. Semakin kita membuat narasumber merasa nyaman (“seperti seorang terapis yang baik”) semakin mudah si subyek (narasumber) menceritakan kisah-kisahnya. Teknik ini, selain dinilai sukses untuk mendapatkan “rasa” dalam cerita, juga bisa mengarahkan kita pada situasi yang berkompromi. Wolozin mendiskusikan pengalamannya dengan narasumber, ketika orang-orang biasanya membelokkan arah wawancara ke daerah emosi, yang mungkin tidak ada kaitannya dengan film dokumenter.  Dia berpendapat: “Kita kadang merasakan sebuah kebingungan tentang etika, apakah saya harus menemukan emasnya, yaitu membuat dia menangis lebih sedih dan menggunakan itu, atau apakah saya akan melindunginya dan berkata: 'Kamu tahu, ini mungkin bukan sesuatu yang kamu mau untuk disiarkan secara nasional' …atau itu hanya sesuatu yang memang tidak perlu saya pakai.”
Perasaan tereksploitasi dan manipulasi sering datang saat proses pembuatan film dokumenter, dan akan sangat penting untuk para pembuat film dokumenter jika dapat membuat suasana yang imbang, seperti yang Wolozin utarakan: “Saya berpikir tentang... ketertarikan mereka sendiri dan apa yang mereka ingin atau tidak ingin ditampilkan dalam televisi, jadi saya akan melindunginya. Walaupun itu sesuatu yang saya butuhkan, saya akan berusaha untuk menyeimbangkan apa yang saya dan mereka butuhkan.”

Negosiasi yang berlangsung terus menerus adalah sesuatu yang Wolozin alami pada saat ia mengerjakan sebuah dokumenter berjudul “Untold Stories of the ER” untuk Learning Channel.  Wolozin terus memperjuangkan etika dalam film seri ini. Terus mempertanyakan apakah peristiwa besar dalam kehidupan seseorang harus didokumentasikan dan ditonton oleh banyak orang atau tidak. Pada saat secara personal ia mempertanyakan moral dari film dokumenter, Wolozin bertemu beberapa dokter yang membenarkan partisipasi mereka dalam sebuah acara (mereka mengklaim bahwa itu dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi dokter). Dalam keterlibatannya Wolozin berkata: “Temukan jalanmu, sepanjang perjalananmu, menjustifikasi eksploitasi yang terjadi." Satu pengalaman yang sulit adalah ketika ada keterlibatan seorang gadis asma yang direkam untuk acara tersebut. Berikut bagaimana Wolozin menceritakan pengalamannya dengan si perempuan dan keluarganya: “Di satu sisi, saya tahu rasanya, tapi di satu sisi yang lain, saya seorang produser dan itu adalah perkerjaan saya. Jarak saya dengan si gadis berumur 8 tahun ini semakin lama semakin dekat, saya mengikutinya selama 6 bulan. Ini pada akhirnya membuat mereka berpikir bahwa saya adalah teman mereka... Saya memang teman mereka, tapi saya juga sedang melaksanakan pekerjaan saya, dan di hari terakhir, saya sangat sedih ketika Ibunya bertanya, 'Jika dia kena serangan asma lagi, apakah kami bisa menelfonmu?' Dan jawaban sejujurnya adalah tidak. Pembuatan film telah usai... Itu adalah saat yang sangat menyakitkan... Momen kemanusiaan… Ya, saya tahu pekerjaan saya telah usai. Saat itu tidak akan pernah saya lupakan, dan setelah itu saya berkata 'Tuhan, ini berat... untuk menyeimbangkan etika atas apa yang kita lakukan dalam memakai hidup orang lain (memakai orang lain sebagai subyek) yang mana mereka adalah juga orang-orang sungguhan. Setiap waktu saya berharap bahwa apa yang saya butuhkan adalah apa yang mereka juga butuhkan.”

Dalam beberapa kasus ini, Wolozin menekankan akan pentingnya selalu melihat ke tujuan yang lebih luas dalam sebuah proyek. Sementara kesuksesan yang dimaksud dalam segmen itu bergantung dari kesakitan gadis tersebut (serangan asma yang terus menerus), dua-duanya memiliki harapan yang sama untuk mampu membantu seseorang melihat dan tahu masalah itu lebih baik.

Dokumenter adalah, tentu, bukan sesuatu yang hanya punya satu sisi. Walaupun film dokumenter bisa sangat menyoroti masa-masa kesusahan seseorang, film dokumenter juga sering merayakan kesuksesannya. Wolozin mengemukakan penghargaan atas profesinya: “Ini adalah hadiah yang indah, untuk berada di posisi itu, menceritakan kisah seseorang.” Kemudian dia mendiskusikan kekuatan film dokumenter untuk “membantu kisah seseorang lebih diketahui dan mendapatkan perhatian dan penghargaan yang seharusnya didapat”. Pada umumnya, keadilan sosial adalah sesuatu yang diinginkan oleh para produser di bidang tersebut. Yang kamu temukan dalam membuat film dokumenter adalah, dengan setengah bercanda Wolozin mengatakan “orang-orang serius yang bekerja keras” dan yang “tidak menjadi kaya atau terkenal.” Keinginan yang kuat untuk menceritakan kisah-kisah ke khalayak luas, membuat sejarah, menceritakan kisah yang belum pernah diceritakan kemudian membuatnya terlhat dan terdengar oleh orang banyak adalah hal-hal yang membedakan film dokumenter dengan seni-seni yang tersisih lainnya. Dalam proses pembuatan film dokumenter, ada proses di dalam diri kita dan proses menemukan diri, tidak hanya kita, biasanya ini bersamaan dengan kejadian atau orang lain di dunia. Para pembuat film dokumenter tidak seperti pelukis yang duduk sendiri di dalam studio, mereka lebih bereaksi dan berusaha meraih dunia yang lebih luas.
(Taken from www.boxerpk.xanga.com)

Minggu, 01 September 2013

10 Langkah Membuat Film Pendek

00.11 0 Comments
Hai teman,
Kali ini saya akan memberikan artikel mengenai 10 Langkah Membuat Film Pendek.



Bikin film pendek bukan hal yang sulit. Apalagi semua teman-teman kita sudah banyak yang pernah membuatnya. Tertarik mencoba? Boleh banget!


Di mana pun dan dalam situasi apa pun kita bisa membuat film pendek. Enggak perlu cari cerita yang bombastis. Kejadian sehari-hari dalam kehidupan kita saja bisa dijadikan sumber film pendek. Misalnya nih, saat acara ulang tahun, acara ngumpul bareng di rumah atau saat beramai-ramai liburan ke satu tempat hiburan.

Untuk membuat film pendek pun tidak perlu biaya mahal-mahal. Paling kita harus membeli kaset kosong yang harganya sekitar Rp 75.000, lalu untuk biaya riset lapangan kalau tempatnya jauh dan butuh biaya. Namun, riset ini bisa juga sama sekali enggak mengeluarkan biaya dan, yang terakhir, adalah biaya untuk editing. Ini mungkin sedikit mahal, sekitar 1 juta. Harga satu tempat dengan tempat yang lain bervariasi sih.

Saat membuat film pendek, yang pertama kali harus kita pikirkan adalah cerita. Kita harus menentukan fokus cerita dari film kita. Misalnya pas pesta ulang tahun. Maka, fokus ceritanya adalah pesta ulang tahun. Atau saat pergi ke tempat hiburan, fokus ceritanya ya tempat hiburan itu, misalnya, Suatu Hari di Dunia Fantasi….

Setelah kita tentukan fokus cerita, tinggal ikuti langkah-langkah ini!


1. Riset Awal!

Kita cari tahu dulu tentang latar belakang yang ingin kita buat film. Kalau serius, riset ini harusnya sangat detail, tetapi kalau mau sederhana, kita bisa saja browsing dulu di internet atau bertanya kepada teman atau orang yang sudah mengalaminya. Kita catat data-data yang kita dapat tadi.


2. Siapkan Peralatan

Perlengkapan yang diperlukan adalah handycam atau kamera video apa pun beserta baterai dan charger. Jangan lupa bawa juga mikrofon tambahan dan kabel ekstensinya, tripod, dan yang paling penting, kaset-kaset kosong (bawa cadangan ya).


3. Riset Lapangan

Waktu sampai di tempat tujuan, kita harus melakukan riset lebih dalam dari riset awal yang sudah kita lakukan di rumah. Cocokkan data yang didapat saat riset awal dengan keadaan di lapangan.

Bagaimana caranya? Ya jalan, ngobrol, dan nongkrong! Santai dan berusaha akrab dengan lingkungan yang akan kita filmkan.


4. Buat Alur Cerita Kasar

Tentukan siapa saja yang mau diangkat sebagai tokoh dalam film. Biasanya, dari hasil riset di lapangan, kita bisa mendapatkan sebuah ide yang lebih spesifik dan menarik untuk diangkat dari ide awal kita di rumah. Misalnya, “Keseharian hidup badut di Dufan”. Kemudian, buatlah alur cerita kasar dari ide tersebut. Misalnya, tugas-tugas si badut di Dufan dan tempat-tempat wajib yang harus didatangi si badut.



 5. Buatlah Sinopsis
Cerita singkat tentang seperti apa film yang kita buat ini. Dari sinopsis kita bisa menentukan siapa saja yang harus kita wawancara, daftar pertanyaan untuk setiap wawancara, dan daftar gambar-gambar (footage) yang dibutuhkan di luar wawancara.


6. Syuting atau Pengambilan Gambar

Dari hasil riset, kita sudah tahu di mana saja dan kapan saja orang-orang yang ingin kita wawancara berada. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan untuk pengambilan gambar. Yang pertama, datangi dan minta izin mereka untuk melakukan wawancara. Ingat, jangan sekali-kali merekam wawancara tanpa izin! Tidak etis dan bisa bikin mereka tidak suka.

Kedua, jangan lupa menggunakan mikrofon tambahan ketika melakukan wawancara, apalagi kalau kita berada di tengah keramaian. Ketiga, gunakan daftar pertanyaan yang sudah dibuat sebelumnya sebagai acuan, tetapi jangan terlalu kaku, kita boleh bertanya hal-hal lain di luar daftar tersebut.

Keempat, buat suasana wawancara sesantai mungkin, bertanyalah seperti kita sedang mengobrol biasa. Sebab, keberadaan kamera video bisa membuat orang gugup, jaim, dan tidak bisa menjawab jujur.

Kelima, gunakan tripod bila wawancara berlangsung cukup lama dan tidak dilakukan sambil bergerak. Keenam, Selesaikan semua wawancara dari daftar orang yang sudah kita buat. Setelah itu rekam semua gambar yang sudah kita tulis dalam daftar footage kita. Kalau kita masih punya waktu dan kaset cadangan, kita boleh kok merekam gambar-gambar tambahan lain yang mungkin nanti bisa berguna saat tahap editing.

Ketujuh, setelah semua selesai direkam. Periksa lagi semua daftar yang kita punya. Baca lagi sinopsis awal kita. Apa semua sudah cukup. Jangan sampai ada yang terlupa.


7. Buat Alur Cerita Final

Sesuaikan hasil catatan dengan hasil wawancara yang sudah kita buat. Masih sesuaikah? Harus diubahkah? Ke arah mana harus dikembangkan?

Hal ini sangat mungkin terjadi karena hasil wawancara bisa banget menghasilkan data-data yang lebih banyak dan mungkin berbeda dari apa yang sudah kita siapkan sebelumnya. Enggak masalah kok. Perbaiki dan buat sinopsis baru yang bisa disusun dari hasil rekaman yang sudah kita tonton berulang kali.

Setelah selesai, barulah sinopsis final ini bisa jadi panduan untuk mulai mengedit.


8. Mengedit Film

Mulai capture hasil rekaman yang sudah kita pilih sebelumnya ke dalam komputer menggunakan program editing yang biasa kita pakai. Setelah itu susun film kita berdasarkan sinopsis final yang sudah kita buat sebelumnya.

Masukkan footage-footage yang kita sudah rekam. Buat alur semenarik mungkin, jangan terlalu banyak wawancara yang bisa membosankan. Idealnya, panjang film 8-12 menit.


9. Musik Latar atau “Soundtrack”

Tambahkan musik latar yang sesuai, jangan pakai musik orang sembarangan ya! Sebisa mungkin buat musik sendiri atau minta teman yang pandai membuat musik untuk membuatkan musik untuk film ini.


10. Terakhir, koreksi warna atau “color correction”

Masukkan opening title (pilih judul yang catchy dan bisa menggambarkan keseluruhan film), tambahkan credit title, mixing suara, wrap! Jadikan DVD biar bisa ditonton beramai-ramai.


Oleh: Teguh Andrianto/ Muti Siahaan Tim Muda


 

Follow Us @dinikamilasari

Dini Kamila Sari (@dinikamilasari) • Instagram photos and videos