Wawancara dengan pembuat film dokumenter, Sarah Wolozin
oleh
Boxerpk
Saat saya
bertemu Sarah Wolozin untuk wawancara minggu kemarin, ia memberikan masukan
bagaimana saya seharusnya mengarahkan kamera. "Arahkan ke kiri sedikit dan
duduk di kursi itu,” begitu instruksinya. Walaupun Wolozin sekarang bekerja
sebagai Administrator Akademik untuk Divisi Studi Banding Media di MIT, ia
mengaku masih sulit untuk melupakan pengalamannya selama 10 tahun ketika
membuat film dokumenter. Sebagai seorang anak, dia tahu betul bahwa orang-orang
yang mempunyai kesempatan menceritakan kisah hidupnya adalah orang-orang yang
mempunyai posisi dan kekuatan, berbeda dengan orang-orang biasa yang
cerita-ceritanya hanya akan terkubur. Kesadaran inilah awal ketertarikannya
pada media cetak dan kemudian membawanya ke Italia dimana Wolozin membuat film
dokumenter untuk pertama kalinya dan kemudian jatuh cinta pada film
dokumenter. Wolozin akhirnya kembali ke Boston tempat tinggalnya, dan
bekerja di perusahaan dokumenter, Blackside. Bersama Blackside, ia mengerjakan
banyak film dokumenter, salah satunya: “I’ll Make Me a World: A Century of
African-American Arts”. Selama beberapa tahun, Wolozin terus memproduksi
film dokumenter untuk PBS, History Channel, dan Learning Channel.
Walaupun saya sudah pernah berdiskusi dengannya tentang karir profesionalnya dan bahkan mengikuti lokakaryanya (MIT) tentang pembuatan film dokumenter, saya belum pernah berkesempatan untuk mengetahui lebih dalam apa yang dipikirkannya saat proses pembuatan film. Ia memberikan materi-materi pengajaran yang praktis di dalam kelas, yang membuat saya tertarik untuk mengetahui prinsip kerjanya. Saya ingin mendalaminya melalui wawancara khusus.
Satu hal yang sangat menarik perhatian adalah keseganannya untuk mengungkapkan dengan jelas metode atau teori dalam pembuatan film dokumenter. Berikut kutipannya:
“Yang saya pikirkan ketika Anda berkata membuat film dokumenter adalah… bahwa itu adalah sebuah bidang yang besar yang meliputi berbagai macam gaya, pendekatan, filosofi dan teori.. dan tipe-tipe orang serta metode. Benang merahnya adalah, itu benar-benar terjadi, bukan sesuatu yang fiksi dan kemudian Anda merekamnya”
Walaupun ada begitu banyak pendekatan dalam membuat film dokumenter, Wolozin menyatakan bahwa kebanyakan para pembuat film termotivasi oleh keinginan untuk menceritakan sebuah kisah. Ketika film fiksi memulai prosesnya dengan sebuah cerita di kepala, film dokumenter justru lebih sering berangkat dari sebuah ide atau konsep. Beberapa dokumenter bertumpu pada penceritaan kembali sebuah fakta sebagaimana adanya (seperti salah satu karya Wolozin, History Channel), biasanya, filmmaker membentuk atau menggunakan bahasa naratif di karya mereka. Wolozin menyatakan kita harus “mencari-cari drama” ketika merangkai film dokumenter, dan prosesnya kerap kali melibatkan negosiasi yang terus menerus antara berbagi ilmu, ide dan bercerita kisah yang menarik hati.
Negosiasi dan keseimbangan menjadi tema yang selalu ada dalam setiap wawancara. Sebagai seorang pembuat film dokumenter untuk televisi, Wolozin beberapa kali mengerjakan sesuatu yang diminta yang bertentangan dengan hatinya. Biasanya Wolozin mendiskusikan dengan yang mempekerjakannya ketika dia sudah terlalu jauh ditekan melawan instingnya. Wolozin mengatakan: “Beberapa cerita dapat dibanggakan dan beberapa harus kita relakan untuk tidak dipakai… Kita selalu menghitung keterbatasan dana dan kemampuan yang kita punya, tapi bagi saya, yang paling penting adalah kita berusaha untuk menyeimbangkan itu, kita berusaha membuat proyek yang sesuai dengan nilai-nilai dan membiarkan kita merasa bahwa kita telah memberikan masukan kreatif dan membuat sesuatu yang berharga. Jika kita merasa itu tidak berharga, maka itu sangat tidak memuaskan.”
Sesuatu yang baru saya perhatikan ketika mengikuti lokakarya tentang pembuatan film dokumenter bersama Wolozin beberapa minggu yang lalu adalah bahwa keseimbangan adalah kunci dari teknik pembuatan film dokumenter. Saat Wolozin mengemukakan bagaimana caranya membuat rencana shooting yang mendetail dan membuat proses yang terorganisir, dia juga menyatakan bahwa, sering kali dalam membuat film kita melibatkan intuisi tentang “apa yang terasa benar”. Dia bercerita bahwa sejak masa kanak-kanak, kebanyakan pembuat film sudah mempunyai intuisi dan indra yang baik untuk membedakan sesuatu yang terlihat bagus dan yang menarik perhatian mereka, melalui kacamatanya sendiri melihat media seperti film dan televisi. Karena “televisi adalah sebuah media yang emosional” (sebuah pernyataan untuk Rick Burns, seorang pembuat film dokumenter), insting sangat berperan besar dalam membuat isi dari program, khususnya dalam membuat cerita yang mengasyikan. Ini tidak untuk menyatakan bahwa Wolozin menjauhi pendidikan/pelatihan profesional (sesungguhnya, dia menganjurkan untuk bersekolah di sekolah film, karena itu akan memberikan kebebasan dalam keterbatasan profesi dan membiarkan kita bereksperimen), tapi dia malah mengatakan: “Ada banyak cara untuk belajar, dan saya tidak berpikir bahwa cara yang dipakai si ini lebih baik dari cara yang dipakai oleh yang lain, saya hanya berpikir untuk menjalani cara yang ampuh untuk saya, yang menghasilkan paling baik untuk saya.”
Insting, yang sebelumnya disebut oleh Wolozin sebagai “kunci dalam membuat film dokumenter”, adalah juga sebuah elemen yang penting dalam melaksanakan wawancara. Motivasi para pembuat film dokumenter kebanyakan adalah untuk menceritakan kisah, yang harus disampaikan melalui karakter-karakter di film dan wawancara-wawancara dengan mereka. Wolozin mengatakan bahwa dokumenter lebih sering “merupakan sebuah keseimbangan antara wawasan dan karisma dari karakter-karakternya”. Insting harus diperhatikan pada beberapa tahap dalam proses wawancara. Pertama, pembuat film harus bertumpu pada instingnya untuk memilih orang-orang yang akan diwawancara. Ini sangat pernting di dunia dokumenter karena Wolozin pernah menyatakan: “Masalahnya adalah kita tidak tahu bagaimana narasumber-narasumber kita akan berlaku dan kita tidak bisa mengontrolnya, karena mereka bukan aktor. Jadi, dari awal kita harus memilih mereka dengan tepat agar terhindar dari kegagalan, karena pada akhirnya, ini semua tentang para karakter dalam film.”
Tentu saja ini hanya awalnya, insting juga harus menggiring pembuat film dalam melaksanakan wawancaranya. Wolozin kemudian membicarakan beberapa cara untuk menjadi seorang pewawancara yang baik (yang juga menjadikan seorang pembuat film dokumenter yang baik): “Setiap orang mempunyai akses untuk tahu prinsip menjadi karakter yang baik, yaitu sebuah pengertian yang dalam atau kemampuan yang membuat orang mengerti hingga ke akar-akarnya, sementara yang lain tidak.” Beberapa pembuat film dokumenter suka menjaga jarak dengan para narasumber yang diwawancara, tapi tidak dengan Wolozin, dia lebih suka para pewawancara melakukan pendekatan yang lebih halus. Dia menekankan karakter yang bisa dikatakan sebagai karakter yang “tidak mengancam” adalah mereka yang mendengarkan dengan seksama dan mencari-cari tahu bagaimana membangun ikatan dengan subyek. Semakin kita membuat narasumber merasa nyaman (“seperti seorang terapis yang baik”) semakin mudah si subyek (narasumber) menceritakan kisah-kisahnya. Teknik ini, selain dinilai sukses untuk mendapatkan “rasa” dalam cerita, juga bisa mengarahkan kita pada situasi yang berkompromi. Wolozin mendiskusikan pengalamannya dengan narasumber, ketika orang-orang biasanya membelokkan arah wawancara ke daerah emosi, yang mungkin tidak ada kaitannya dengan film dokumenter. Dia berpendapat: “Kita kadang merasakan sebuah kebingungan tentang etika, apakah saya harus menemukan emasnya, yaitu membuat dia menangis lebih sedih dan menggunakan itu, atau apakah saya akan melindunginya dan berkata: 'Kamu tahu, ini mungkin bukan sesuatu yang kamu mau untuk disiarkan secara nasional' …atau itu hanya sesuatu yang memang tidak perlu saya pakai.”
Perasaan tereksploitasi dan manipulasi sering datang saat proses pembuatan film dokumenter, dan akan sangat penting untuk para pembuat film dokumenter jika dapat membuat suasana yang imbang, seperti yang Wolozin utarakan: “Saya berpikir tentang... ketertarikan mereka sendiri dan apa yang mereka ingin atau tidak ingin ditampilkan dalam televisi, jadi saya akan melindunginya. Walaupun itu sesuatu yang saya butuhkan, saya akan berusaha untuk menyeimbangkan apa yang saya dan mereka butuhkan.”
Negosiasi yang berlangsung terus menerus adalah sesuatu yang Wolozin alami pada saat ia mengerjakan sebuah dokumenter berjudul “Untold Stories of the ER” untuk Learning Channel. Wolozin terus memperjuangkan etika dalam film seri ini. Terus mempertanyakan apakah peristiwa besar dalam kehidupan seseorang harus didokumentasikan dan ditonton oleh banyak orang atau tidak. Pada saat secara personal ia mempertanyakan moral dari film dokumenter, Wolozin bertemu beberapa dokter yang membenarkan partisipasi mereka dalam sebuah acara (mereka mengklaim bahwa itu dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi dokter). Dalam keterlibatannya Wolozin berkata: “Temukan jalanmu, sepanjang perjalananmu, menjustifikasi eksploitasi yang terjadi." Satu pengalaman yang sulit adalah ketika ada keterlibatan seorang gadis asma yang direkam untuk acara tersebut. Berikut bagaimana Wolozin menceritakan pengalamannya dengan si perempuan dan keluarganya: “Di satu sisi, saya tahu rasanya, tapi di satu sisi yang lain, saya seorang produser dan itu adalah perkerjaan saya. Jarak saya dengan si gadis berumur 8 tahun ini semakin lama semakin dekat, saya mengikutinya selama 6 bulan. Ini pada akhirnya membuat mereka berpikir bahwa saya adalah teman mereka... Saya memang teman mereka, tapi saya juga sedang melaksanakan pekerjaan saya, dan di hari terakhir, saya sangat sedih ketika Ibunya bertanya, 'Jika dia kena serangan asma lagi, apakah kami bisa menelfonmu?' Dan jawaban sejujurnya adalah tidak. Pembuatan film telah usai... Itu adalah saat yang sangat menyakitkan... Momen kemanusiaan… Ya, saya tahu pekerjaan saya telah usai. Saat itu tidak akan pernah saya lupakan, dan setelah itu saya berkata 'Tuhan, ini berat... untuk menyeimbangkan etika atas apa yang kita lakukan dalam memakai hidup orang lain (memakai orang lain sebagai subyek) yang mana mereka adalah juga orang-orang sungguhan. Setiap waktu saya berharap bahwa apa yang saya butuhkan adalah apa yang mereka juga butuhkan.”
Dalam beberapa kasus ini, Wolozin menekankan akan pentingnya selalu melihat ke tujuan yang lebih luas dalam sebuah proyek. Sementara kesuksesan yang dimaksud dalam segmen itu bergantung dari kesakitan gadis tersebut (serangan asma yang terus menerus), dua-duanya memiliki harapan yang sama untuk mampu membantu seseorang melihat dan tahu masalah itu lebih baik.
Dokumenter adalah, tentu, bukan sesuatu yang hanya punya satu sisi. Walaupun film dokumenter bisa sangat menyoroti masa-masa kesusahan seseorang, film dokumenter juga sering merayakan kesuksesannya. Wolozin mengemukakan penghargaan atas profesinya: “Ini adalah hadiah yang indah, untuk berada di posisi itu, menceritakan kisah seseorang.” Kemudian dia mendiskusikan kekuatan film dokumenter untuk “membantu kisah seseorang lebih diketahui dan mendapatkan perhatian dan penghargaan yang seharusnya didapat”. Pada umumnya, keadilan sosial adalah sesuatu yang diinginkan oleh para produser di bidang tersebut. Yang kamu temukan dalam membuat film dokumenter adalah, dengan setengah bercanda Wolozin mengatakan “orang-orang serius yang bekerja keras” dan yang “tidak menjadi kaya atau terkenal.” Keinginan yang kuat untuk menceritakan kisah-kisah ke khalayak luas, membuat sejarah, menceritakan kisah yang belum pernah diceritakan kemudian membuatnya terlhat dan terdengar oleh orang banyak adalah hal-hal yang membedakan film dokumenter dengan seni-seni yang tersisih lainnya. Dalam proses pembuatan film dokumenter, ada proses di dalam diri kita dan proses menemukan diri, tidak hanya kita, biasanya ini bersamaan dengan kejadian atau orang lain di dunia. Para pembuat film dokumenter tidak seperti pelukis yang duduk sendiri di dalam studio, mereka lebih bereaksi dan berusaha meraih dunia yang lebih luas.
(Taken from www.boxerpk.xanga.com)
Walaupun saya sudah pernah berdiskusi dengannya tentang karir profesionalnya dan bahkan mengikuti lokakaryanya (MIT) tentang pembuatan film dokumenter, saya belum pernah berkesempatan untuk mengetahui lebih dalam apa yang dipikirkannya saat proses pembuatan film. Ia memberikan materi-materi pengajaran yang praktis di dalam kelas, yang membuat saya tertarik untuk mengetahui prinsip kerjanya. Saya ingin mendalaminya melalui wawancara khusus.
Satu hal yang sangat menarik perhatian adalah keseganannya untuk mengungkapkan dengan jelas metode atau teori dalam pembuatan film dokumenter. Berikut kutipannya:
“Yang saya pikirkan ketika Anda berkata membuat film dokumenter adalah… bahwa itu adalah sebuah bidang yang besar yang meliputi berbagai macam gaya, pendekatan, filosofi dan teori.. dan tipe-tipe orang serta metode. Benang merahnya adalah, itu benar-benar terjadi, bukan sesuatu yang fiksi dan kemudian Anda merekamnya”
Walaupun ada begitu banyak pendekatan dalam membuat film dokumenter, Wolozin menyatakan bahwa kebanyakan para pembuat film termotivasi oleh keinginan untuk menceritakan sebuah kisah. Ketika film fiksi memulai prosesnya dengan sebuah cerita di kepala, film dokumenter justru lebih sering berangkat dari sebuah ide atau konsep. Beberapa dokumenter bertumpu pada penceritaan kembali sebuah fakta sebagaimana adanya (seperti salah satu karya Wolozin, History Channel), biasanya, filmmaker membentuk atau menggunakan bahasa naratif di karya mereka. Wolozin menyatakan kita harus “mencari-cari drama” ketika merangkai film dokumenter, dan prosesnya kerap kali melibatkan negosiasi yang terus menerus antara berbagi ilmu, ide dan bercerita kisah yang menarik hati.
Negosiasi dan keseimbangan menjadi tema yang selalu ada dalam setiap wawancara. Sebagai seorang pembuat film dokumenter untuk televisi, Wolozin beberapa kali mengerjakan sesuatu yang diminta yang bertentangan dengan hatinya. Biasanya Wolozin mendiskusikan dengan yang mempekerjakannya ketika dia sudah terlalu jauh ditekan melawan instingnya. Wolozin mengatakan: “Beberapa cerita dapat dibanggakan dan beberapa harus kita relakan untuk tidak dipakai… Kita selalu menghitung keterbatasan dana dan kemampuan yang kita punya, tapi bagi saya, yang paling penting adalah kita berusaha untuk menyeimbangkan itu, kita berusaha membuat proyek yang sesuai dengan nilai-nilai dan membiarkan kita merasa bahwa kita telah memberikan masukan kreatif dan membuat sesuatu yang berharga. Jika kita merasa itu tidak berharga, maka itu sangat tidak memuaskan.”
Sesuatu yang baru saya perhatikan ketika mengikuti lokakarya tentang pembuatan film dokumenter bersama Wolozin beberapa minggu yang lalu adalah bahwa keseimbangan adalah kunci dari teknik pembuatan film dokumenter. Saat Wolozin mengemukakan bagaimana caranya membuat rencana shooting yang mendetail dan membuat proses yang terorganisir, dia juga menyatakan bahwa, sering kali dalam membuat film kita melibatkan intuisi tentang “apa yang terasa benar”. Dia bercerita bahwa sejak masa kanak-kanak, kebanyakan pembuat film sudah mempunyai intuisi dan indra yang baik untuk membedakan sesuatu yang terlihat bagus dan yang menarik perhatian mereka, melalui kacamatanya sendiri melihat media seperti film dan televisi. Karena “televisi adalah sebuah media yang emosional” (sebuah pernyataan untuk Rick Burns, seorang pembuat film dokumenter), insting sangat berperan besar dalam membuat isi dari program, khususnya dalam membuat cerita yang mengasyikan. Ini tidak untuk menyatakan bahwa Wolozin menjauhi pendidikan/pelatihan profesional (sesungguhnya, dia menganjurkan untuk bersekolah di sekolah film, karena itu akan memberikan kebebasan dalam keterbatasan profesi dan membiarkan kita bereksperimen), tapi dia malah mengatakan: “Ada banyak cara untuk belajar, dan saya tidak berpikir bahwa cara yang dipakai si ini lebih baik dari cara yang dipakai oleh yang lain, saya hanya berpikir untuk menjalani cara yang ampuh untuk saya, yang menghasilkan paling baik untuk saya.”
Insting, yang sebelumnya disebut oleh Wolozin sebagai “kunci dalam membuat film dokumenter”, adalah juga sebuah elemen yang penting dalam melaksanakan wawancara. Motivasi para pembuat film dokumenter kebanyakan adalah untuk menceritakan kisah, yang harus disampaikan melalui karakter-karakter di film dan wawancara-wawancara dengan mereka. Wolozin mengatakan bahwa dokumenter lebih sering “merupakan sebuah keseimbangan antara wawasan dan karisma dari karakter-karakternya”. Insting harus diperhatikan pada beberapa tahap dalam proses wawancara. Pertama, pembuat film harus bertumpu pada instingnya untuk memilih orang-orang yang akan diwawancara. Ini sangat pernting di dunia dokumenter karena Wolozin pernah menyatakan: “Masalahnya adalah kita tidak tahu bagaimana narasumber-narasumber kita akan berlaku dan kita tidak bisa mengontrolnya, karena mereka bukan aktor. Jadi, dari awal kita harus memilih mereka dengan tepat agar terhindar dari kegagalan, karena pada akhirnya, ini semua tentang para karakter dalam film.”
Tentu saja ini hanya awalnya, insting juga harus menggiring pembuat film dalam melaksanakan wawancaranya. Wolozin kemudian membicarakan beberapa cara untuk menjadi seorang pewawancara yang baik (yang juga menjadikan seorang pembuat film dokumenter yang baik): “Setiap orang mempunyai akses untuk tahu prinsip menjadi karakter yang baik, yaitu sebuah pengertian yang dalam atau kemampuan yang membuat orang mengerti hingga ke akar-akarnya, sementara yang lain tidak.” Beberapa pembuat film dokumenter suka menjaga jarak dengan para narasumber yang diwawancara, tapi tidak dengan Wolozin, dia lebih suka para pewawancara melakukan pendekatan yang lebih halus. Dia menekankan karakter yang bisa dikatakan sebagai karakter yang “tidak mengancam” adalah mereka yang mendengarkan dengan seksama dan mencari-cari tahu bagaimana membangun ikatan dengan subyek. Semakin kita membuat narasumber merasa nyaman (“seperti seorang terapis yang baik”) semakin mudah si subyek (narasumber) menceritakan kisah-kisahnya. Teknik ini, selain dinilai sukses untuk mendapatkan “rasa” dalam cerita, juga bisa mengarahkan kita pada situasi yang berkompromi. Wolozin mendiskusikan pengalamannya dengan narasumber, ketika orang-orang biasanya membelokkan arah wawancara ke daerah emosi, yang mungkin tidak ada kaitannya dengan film dokumenter. Dia berpendapat: “Kita kadang merasakan sebuah kebingungan tentang etika, apakah saya harus menemukan emasnya, yaitu membuat dia menangis lebih sedih dan menggunakan itu, atau apakah saya akan melindunginya dan berkata: 'Kamu tahu, ini mungkin bukan sesuatu yang kamu mau untuk disiarkan secara nasional' …atau itu hanya sesuatu yang memang tidak perlu saya pakai.”
Perasaan tereksploitasi dan manipulasi sering datang saat proses pembuatan film dokumenter, dan akan sangat penting untuk para pembuat film dokumenter jika dapat membuat suasana yang imbang, seperti yang Wolozin utarakan: “Saya berpikir tentang... ketertarikan mereka sendiri dan apa yang mereka ingin atau tidak ingin ditampilkan dalam televisi, jadi saya akan melindunginya. Walaupun itu sesuatu yang saya butuhkan, saya akan berusaha untuk menyeimbangkan apa yang saya dan mereka butuhkan.”
Negosiasi yang berlangsung terus menerus adalah sesuatu yang Wolozin alami pada saat ia mengerjakan sebuah dokumenter berjudul “Untold Stories of the ER” untuk Learning Channel. Wolozin terus memperjuangkan etika dalam film seri ini. Terus mempertanyakan apakah peristiwa besar dalam kehidupan seseorang harus didokumentasikan dan ditonton oleh banyak orang atau tidak. Pada saat secara personal ia mempertanyakan moral dari film dokumenter, Wolozin bertemu beberapa dokter yang membenarkan partisipasi mereka dalam sebuah acara (mereka mengklaim bahwa itu dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi dokter). Dalam keterlibatannya Wolozin berkata: “Temukan jalanmu, sepanjang perjalananmu, menjustifikasi eksploitasi yang terjadi." Satu pengalaman yang sulit adalah ketika ada keterlibatan seorang gadis asma yang direkam untuk acara tersebut. Berikut bagaimana Wolozin menceritakan pengalamannya dengan si perempuan dan keluarganya: “Di satu sisi, saya tahu rasanya, tapi di satu sisi yang lain, saya seorang produser dan itu adalah perkerjaan saya. Jarak saya dengan si gadis berumur 8 tahun ini semakin lama semakin dekat, saya mengikutinya selama 6 bulan. Ini pada akhirnya membuat mereka berpikir bahwa saya adalah teman mereka... Saya memang teman mereka, tapi saya juga sedang melaksanakan pekerjaan saya, dan di hari terakhir, saya sangat sedih ketika Ibunya bertanya, 'Jika dia kena serangan asma lagi, apakah kami bisa menelfonmu?' Dan jawaban sejujurnya adalah tidak. Pembuatan film telah usai... Itu adalah saat yang sangat menyakitkan... Momen kemanusiaan… Ya, saya tahu pekerjaan saya telah usai. Saat itu tidak akan pernah saya lupakan, dan setelah itu saya berkata 'Tuhan, ini berat... untuk menyeimbangkan etika atas apa yang kita lakukan dalam memakai hidup orang lain (memakai orang lain sebagai subyek) yang mana mereka adalah juga orang-orang sungguhan. Setiap waktu saya berharap bahwa apa yang saya butuhkan adalah apa yang mereka juga butuhkan.”
Dalam beberapa kasus ini, Wolozin menekankan akan pentingnya selalu melihat ke tujuan yang lebih luas dalam sebuah proyek. Sementara kesuksesan yang dimaksud dalam segmen itu bergantung dari kesakitan gadis tersebut (serangan asma yang terus menerus), dua-duanya memiliki harapan yang sama untuk mampu membantu seseorang melihat dan tahu masalah itu lebih baik.
Dokumenter adalah, tentu, bukan sesuatu yang hanya punya satu sisi. Walaupun film dokumenter bisa sangat menyoroti masa-masa kesusahan seseorang, film dokumenter juga sering merayakan kesuksesannya. Wolozin mengemukakan penghargaan atas profesinya: “Ini adalah hadiah yang indah, untuk berada di posisi itu, menceritakan kisah seseorang.” Kemudian dia mendiskusikan kekuatan film dokumenter untuk “membantu kisah seseorang lebih diketahui dan mendapatkan perhatian dan penghargaan yang seharusnya didapat”. Pada umumnya, keadilan sosial adalah sesuatu yang diinginkan oleh para produser di bidang tersebut. Yang kamu temukan dalam membuat film dokumenter adalah, dengan setengah bercanda Wolozin mengatakan “orang-orang serius yang bekerja keras” dan yang “tidak menjadi kaya atau terkenal.” Keinginan yang kuat untuk menceritakan kisah-kisah ke khalayak luas, membuat sejarah, menceritakan kisah yang belum pernah diceritakan kemudian membuatnya terlhat dan terdengar oleh orang banyak adalah hal-hal yang membedakan film dokumenter dengan seni-seni yang tersisih lainnya. Dalam proses pembuatan film dokumenter, ada proses di dalam diri kita dan proses menemukan diri, tidak hanya kita, biasanya ini bersamaan dengan kejadian atau orang lain di dunia. Para pembuat film dokumenter tidak seperti pelukis yang duduk sendiri di dalam studio, mereka lebih bereaksi dan berusaha meraih dunia yang lebih luas.
(Taken from www.boxerpk.xanga.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar